KULIAH KOMPUTER DI PEKANBARU|KULIAH KOMPUTER DI I-TECH COURSE
KULIAH KOMPUTER DI PEKANBARU|KULIAH KOMPUTER DI I-TECH COURSE
KULIAH KOMPUTER PEKANBARU I-TECH
Simak bagaimana fighting game bangkit dari ambang kepunahan menjadi cabang esports populer
Fighting game ialah genre yang lumayan unik dibanding cabang-cabang esports lainnya. Sebelum
terdapat tipe-tipe game modern seperti first-person shooter, MOBA, atau bahkan battle royale, fighting game telah terlebih dahulu menanamkan akar kompetitifnya di kalangan masyarakat. Hingga sekarang pun, fighting game terus menjadi di antara genre game yang paling populer dan punya tidak sedikit penggemar setia.
Dunia fighting game berutang besar untuk Capcom, pengembang game asal Jepang yang adalahpencipta seri Street Fighter. Akan namun dalam perjalanannya, iklim kompetitif dalam genre ini malah lebih tidak sedikit digerakkan oleh penggemar-penggemar di level akar rumput. Turnamen fighting game internasional sangat bergengsi pun, yakni Evolution Championship Series (EVO), berawal dari kegiatan penggemar yang kian lama kian membesar.
Ekosistem fighting game ialah ekosistem yang niche tetapi subur, kecil tetapi menggigit, dan tak bakal pernah lekang dimakan zaman. Seperti apa pertumbuhan fighting game serta iklim esports di sekitarnya? Mari simak di bawah.
Pionir itu mempunyai nama Street Fighter II
Berbicara mengenai sejarah fighting game, anda tak akan dapat lepas dari game legendaris yang adalah“nenek moyang” fighting game, Street Fighter II. Dilihat dari judulnya saja anda sudah dapat menebak bahwa Street Fighter II bukan fighting game kesatu di dunia. Akan namun game berikut yang menciptakan genre fighting meledak di pasaran, khususnya secara kompetitif.
Ultra Street Fighter II: The Final Challengers
Ultra Street Fighter II: The Final Challengers | Sumber: Nintendo
Ada sejumlah hal yang menciptakan Street Fighter II digemari masyarakat luas. Salah satunya yakni jumlah karakter yang lumayan banyak, sarat variasi, dan mewakili kebudayaan sekian banyak negara di dunia. Ada Ryu dan Ken dari Jepang, Guile dari Amerika Serikat, Zangief dari Rusia, sampai Dhalsim dari India, aneka yang begitu luas menciptakan Street Fighter II punya pesona tersendiri untuk para gamer. Apalagi masing-masing karakter punya gaya bertarung yang jauh berbeda.
Street Fighter II pun revolusioner dalam menciptakan sekian banyak pakem fighting game yang populer sampai saat ini. Mulai dari sistem special move yang dapat dieksekusi dengan kombinasi arah dan tombol, sistem combo yang memungkinkan karakter melancarkan serangan bertubi-tubi, sampai tren pertarungan satu-lawan-satu tersebut sendiri. Sebelum Street Fighter II, lazimnya fighting game melulu mengandung pertarungan melawan komputer. Tapi Capcom mengubah tersebut semua dengan fitur pertarungan player versus player.
Begitu populernya Street Fighter II, sampai Capcom sendiri kendala menyediakan arcade cabinet guna pasar semua dunia. Berdasarkan keterangan dari situs GameRevolution, Street Fighter II diduga telah menyebabkan pemasukan sampai kurang lebih 10 miliar dolar! Tak melulu salah satu game tersukses, game ini pun dihormati sebagai di antara game paling dominan sepanjang masa.
Setiap orang punya pertaruhan
Street Fighter II (juga fighting game pada umumnya) punya sifat paling kompetitif tidak saja karena game ini bertajuk pertarungan antara dua pemain. Lebih dari itu, fighting game paling kompetitif sebab dalam genre ini seluruh orang tidak jarang kali mempertaruhkan sesuatu. Demikian diungkapkan Tom Cannon, co-founder Evolution Championship Series, dikutip dari Inven Global.
Berdasarkan keterangan dari Cannon, terdapat tiga urusan yang dipertaruhkan dalam fighting game, khususnya di arcade. Tiga urusan tersebut adalah:
Waktu. Pergi ke arcade sendiri sudah santap waktu, dan sesampainya di arcade, berapa lama kita dapat bermain ditentukan oleh seberapa berpengalaman kita memainkannya. Bila kita dapat bertarung tanpa kalah, saya dan anda bisa memainkan game guna waktu lama, namun bila anda payah, anda akan cepat game over.
Uang. Bermain di arcade perlu koin, dan saat seseorang datang sebagai penantang, koin anda turut dipertaruhkan. Kalah darinya maka anda harus memasukkan koin kembali guna terus bermain, tapi bila menang, koin anda selamat.
Harga diri. Karena fighting game ialah pertarungan satu lawan satu, apa yang saya dan anda lakukan benar-benar merupakan gambaran dari keterampilan kita. Bayangkan kita berbadan besar dan bertampang sangar, namun kalah main Street Fighter II melawan seorang murid SD. Pasti rasanya salty sekali. Apalagi penantang kita duduk (atau berdiri) tepat di sebelah Anda.
Street Fighter II SNES
Sampul Street Fighter II versi SNES | Sumber: IMDb
Pertaruhan ketiga urusan ini, diperbanyak kenyataan bahwa arcade tidak jarang kali ramai dan pertandingan Anda tentu ditonton tidak sedikit orang, memancing jiwa kompetitif yang tinggi di kalangan peminat fighting game. Hanya masalah masa-masa sebelum persaingan tersebut membesar, menjadi turnamen tingkat arcade center, kota, nasional, dan kesudahannya turnamen dunia.
Raja dari barat dan timur
Tom Cannon ialah salah satu pionir dari turnamen dunia tersebut. Bersama dengan Tony Cannon, Joey Cuellar, dan Seth Killian, mereka melahirkan sebuah kompetisi mempunyai nama Battle By the Bay pada tahun 1996. Dalam video dokumenter yang diciptakan oleh theScore Esports, mereka menuliskan bahwa Battle By the Bay tadinya diciptakan sebagai sarana untuk menuntaskan perseteruan antara komunitas-komunitas fighting game di California. Akan namun pada tahun 1998 terjadi momen urgen yang mengolah iklim kompetitif fighting game di semua dunia.
Pada tahun 1998, Capcom merilis suatu game berjudul Street Fighter Alpha 3 (Street Fighter Zero 3 di Jepang). Demi mempromosikannya di pasar global, Capcom menggelar persaingan akbar tingkat nasional di Jepang dan Amerika Serikat. Kemudian, juara setiap negara bakal bertemu guna menilai siapakah petarung terkuat di dunia yang sebenarnya.
Juara dari Amerika Serikat ialah Alex Valle, jawara Battle By the Bay yang dikenal sebagai pencipta kiat legendaris Street Fighter Alpha 2, “Valle Custom Combo”. Sementara itu, Jepang diwakili oleh Daigo Umehara, pemuda 17 tahun yang telah menjadi juara nasional Jepang semenjak dua tahun sebelumnya. Ini ialah turnamen Street Fighter tingkat dunia kesatu yang resmi diselenggarakan oleh Capcom.
Dalam pertarungan berformat best-of-three, Alex Valle (Ryu) menculik poin terlebih dahulu dari Daigo Umehara (Akuma). Akan namun Daigo, seolah telah “men-download” isi kepala Valle, ternyata dapat beradaptasi dan mematahkan strategi lawannya itu. Daigo mengembalikan keadaan, dan dinobatkan sebagai juara dunia Street Fighter kesatu sesudah menang dengan skor 2-1.
Seorang pemain Street Fighter dari Jepang telah sukses menjadi juara dunia. Lalu selanjutnya apa? Ternyata tidak banyak. Pertarungan antara kedua raja dari barat dan timur tersebut terjadi di tahun 1998, ketika internet masih belum menyebar luas dan esports belum adalahsesuatu yang besar. Untuk komunitas penyuka fighting game, momen tersebut barangkali sangat berkesan, namun tidak untuk masyarakat luas. Malah barangkali tidak tidak sedikit gamer yang tahu, karena informasi masih susah didapat.
Popularitas fighting game secara umum tidak tidak sedikit berubah. Akan namun di kalangan mereka yang bermain pada level tertinggi, mulai hadir bibit-bibit kendala baru. Mereka yang bermukim di Amerika Serikat jadi tahu bahwa Jepang punya pemain-pemain tangguh, demikian pula sebaliknya semua pemain Jepang sadar bahwa Street Fighter tidak melulu “besar” di tanah kelahirannya.
Efek dari paradigma baru ini sangat terasa di persaingan Battle By the Bay. Pada tahun 2001, guna kesatu kalinya, Battle By the Bay kedatangan pemain-pemain dari negara Jepang. Mereka sengaja terbang jauh-jauh ke San Fransisco, California, guna bertarung melawan pemain-pemain hebat dari belahan negara lain. Tidak melulu itu, dua pemain Jepang (Ryo Yoshida dan Tomo Taguchi) bahkan meraih gelar juara guna game Street Fighter Alpha 3 dan Capcom vs. SNK.
Street Fighter Alpha 3
Street Fighter Alpha 3 sudah diluncurkan ulang dalam Street Fighter 30th Anniversary Collection | Sumber: Steam
Menurut penjelasan dari James Chen dalam film dokumenter The Story of EVO, semenjak Battle By the Bay tahun 1996 pun telah ada pemain dari luar negeri, yakni dari Kuwait. Tapi tahun 2001 berikut momen yang mendefinisikan Battle By the Bay sebagai puncak persaingan fighting game, destinasi pengembaraan untuk memperlihatkan siapa petarung terkuat di dunia.
EVO Moment #37
Walau antusiasme peminat fighting game kompetitif semakin meningkat, periode 2000-an sebetulnya adalahmasa yang lumayan sulit untuk fighting game. Banyak fighting game berbobot | berbobot | berkualitas tinggi beredar di pasaran, antara beda Street Fighter III: 3rd Strike, Marvel vs. Capcom 2: New Age of Heroes, Tekken 4, sampai Guilty Gear XX. Namun dampak tingginya popularitas console rumahan laksana PlayStation 2 dan Dreamcast, arcade center mulai turun peminat.
Penurunan ini terasa nyaris di semua dunia, kecuali Jepang di mana pasar arcade masih paling kuat. Bila dulu peminat fighting game mesti mengeluarkan tidak sedikit koin di arcade, kini mereka dapat bermain di console dengan credit tak terbatas. Memang lebih irit dari sudut pandang konsumen, namun dampaknya ialah aktivitas komunitas fighting game jadi menurun. Orang-orang tak lagi berkumpul di arcade center, melulu mendekam di lokasi tinggal masing-masing.
Di semua penjuru Amerika Serikat, pasar arcade sedang sekarat. Komunitas fighting game, yang tidak sedikit bergantung pada arcade, pun sama sekaratnya. Pada tahun 2002, Southern Hills Golfland yang seringkali digunakan sebagai arena pertarungan Battle By the Bay juga gulung tikar. Tapi Tom Cannon dan kawan-kawan tidak menyerah. Mereka ingin supaya semangat kompetitif tersebut terus terjaga walau arcade center telah punah. Sebagai penerus Battle By the Bay, mereka akhirnya menegakkan Evolution Championship Series (EVO).
Satu unsur urgen dari EVO yang memisahkan dari turnamen lain ketika itu ialah adanya hari khusus guna pertarungan delapan besar, alias “Top 8”. Setelah seluruh orang bertanding di pool/grup masing-masing, delapan petarung terkuat bakal berkumpul di babak final, dengan pertandingan yang diyangkan pada layar besar atau proyektor. Semua hadirin dapat menonton pertandingan, menjadikan EVO acara yang jauh lebih unik dari turnamen di arcade center dahulu kala. Pakem acara ini kesudahannya menjadi standar yang digunakan tidak sedikit turnamen esports profesional sampai sekarang.
EVO di tahun 2002 tetap memakai mesin-mesin arcade cabinet sebagai platform kompetisi, tapi teknik ini jelas mempunyai keterbatasan. Di samping masalah logistik (memindahkan begitu tidak sedikit cabinet perlu truk-truk besar), ketersediaan cabinet tersebut sendiri telah semakin menipis. Akhirnya pada tahun 2004, EVO mengolah platform turnamen menjadi console, suatu keputusan yang mendapat tentangan dari tidak sedikit pihak.
Memang masih terdapat game yang dipertandingkan dengan arcade cabinet asli, yakni Street Fighter III: 3rd Strike sebab versi console game ini dirasakan tidak pantas dimainkan secara kompetitif. Namun pada akhirnya evolusi tak dapat dihindari. Setinggi apa juga gairah kompetitif di akar rumput, komunitas fighting game pada akhirnya bakal mati bila tidak terdapat gebrakan yang menciptakan popularitas genre ini bertambah kembali. Untungnya, dan tanpa disangka-sangka, pada EVO 2004 gebrakan tersebut terjadi.
Justin Wong dari Amerika. Daigo Umehara dari Jepang. Dua jagoan Street Fighter III: 3rd Strike, dari dua negara berbeda, dengan gaya permainan yang bertolak belakang pula. Ketika mereka bertemu di final Losers’ Bracket EVO 2004, seluruh tahu mereka bakal menyajikan pertandingan yang dahsyat. Tapi tidak terdapat yang menyangka, bahwa pertandingan ini lantas menjadi di antara momen sangat ikonik dalam sejarah esports.
Daigo yang saat tersebut menjagokan Ken, sedang terdesak sebab permainan Chun-Li kepunyaan Justin Wong yang ciamik. Nyawa miliknya telah begitu tidak banyak sehingga satu special move apa pun bakal membunuhnya walau ia bertahan, sebab adanya sistem chip damage. Merasa di atas angin, Justin Wong melancarkan super combo mempunyai nama Houyokusen. Super combo yang terdiri dari 15 tendangan tersebut sudah tentu akan mengeliminasi Daigo, kecuali andai Daigo dapat melakukan parry 15 kali beruntun dan, entah bagaimana caranya, menjawab dengan serangan yang tidak kalah dahsyat.
Daigo “The Beast” Umehara sukses melakukannya.
Street Fighter IV, mula era renaisans
Momen comeback yang dilaksanakan Daigo Umehara pada tahun 2004 lantas dikenal sebagai “EVO Moment #37”, dan menjadi viral di YouTube yang saat tersebut masih baru diluncurkan. Lucunya, nomor 37 dalam judul video tersebut sebenarnya tidak punya arti apa-apa. Ben Cureton, pencipta video tersebut, melulu asal menempelkan nomor untuk mengindikasikan pada pemirsa bahwa momen heboh seperti tersebut tidak melulu ada satu, tapi tidak sedikit terjadi di EVO.
Popularitas EVO Moment #37 sukses membuat komunitas fighting game bergairah kembali. EVO lantas terus berlangsung sebagai turnamen tahunan, bahkan unik kontrak kerja sama dengan perusahaan-perusahaan besar laksana Capcom dan Toyota. Sayangnya, terdapat satu urusan krusial yang menciptakan EVO terasa stagnan di pertengahan tahun 2000-an. Tidak terdapat game baru dari Capcom.
Menuju tahun 2008, orang-orang sudah jenuh menonton game lawas laksana Street Fighter III: 3rd Strike atau Marvel vs. Capcom 2. EVO memang sempat memasukkan sejumlah game lain, contohnya Tekken 5, Super Smash Bros. Melee, bahkan Mario Kart. Tapi sejak mula pendiriannya, menu utama EVO tidak jarang kali Street Fighter. Untungnya, Capcom paham bakal “rasa lapar” semua penggemar. Di EVO 2008, Capcom kesudahannya memamerkan fighting game teranyar mereka, Street Fighter IV.
Street Fighter IV paling signifikan di dunia fighting game, sebab inilah sekuel sejati Street Fighter yang dinanti-nanti oleh semua penggemar sesudah sembilan tahun lamanya (Street Fighter III: 3rd Strike diluncurkan tahun 1999). Capcom pun merancang game ini supaya mudah dimainkan, dengan menghilangkan mekanisme-mekanisme rumit yang dulu hadir di seri Street Fighter Alpha. Gameplay yang newbie-friendly diperbanyak kualitas visual 3D yang keren menciptakan Street Fighter IV paling populer.
Street Fighter IV
Street Fighter IV mempunyai gaya visual 3D yang menarik | Sumber: Sony
Street Fighter IV menjadi angin segar yang ditunggu-tunggu komunitas fighting game. Suasana EVO pulang memanas. Dari awalnya hanya sejumlah ratus orang di tahun 2008, jumlah kontestan EVO 2009 membludak sampai seribu orang lebih. Ingat, ini kontestan, bukan pengunjung. Seribu orang itu, semuanya datang sebagai peserta. Semuanya bertarung. Semuanya penyuka Street Fighter IV. Dan yang sangat penting, laksana akar kompetitif fighting game di arcade center masa lampau, semuanya punya kesempatan untuk jadi juara.
Sejak meledaknya EVO dan Street Fighter IV, perusahaan-perusahaan penerbit fighting game seolah menyadari bahwa ternyata terdapat pasar yang besar di luar sana. Ada ribuan peminat yang menyukai genre ini, dan rela berkumpul di satu tempat masing-masing tahun guna merayakannya secara besar-besaran. Capcom, Nintendo, Arc System Works, dan Bandai Namco sekarang menjadi sponsor setia EVO, bahkan menjadikan EVO sebagai panggung untuk memberitahukan game baru atau konten baru guna game yang telah ada. Rekor terbesar EVO dipegang oleh Street Fighter V di tahun 2016, di mana game tersebut sukses mendatangkan lebih dari 5.000 kontestan guna memperebutkan gelar juara.
EVO sudah mendorong dunia fighting game menjadi suatu cabang esports profesional yang sustainable, tidak lagi di anggap sebelah mata. Bukan melulu Street Fighter, EVO terus mengerjakan rotasi game masing-masing tahunnya, sampai-sampai tidak menutup bisa jadi game apa pun dapat mendapat exposure besar-besaran. Contoh terbaik ialah Super Smash Bros. Melee, walau usianya telah 17 tahun namun game ini masih menjadi di antara turnamen dengan kontestan terbanyak di EVO 2018.
Developer game perlu penggemar, dan gamer perlu hiburan. Atlet esports perlu penghasilan, sedangkan sponsor perlu panggung. Semua aspek dari fighting game bertemu dalam EVO, mulai dari penonton, pemain, sampai korporat, menjadikan turnamen internasional tersebut suatu simbiosis yang paling kuat antara seluruh manusia yang berkiprah di dunia fighting game. Kini EVO ialah “Mekkah-nya fighting game”. Siapa juga yang menyukai fighting game mesti menikmati sendiri datang ke turnamen ini, sangat tidak sekali seumur hidup.
Ada apa di luar EVO?
Seiring dengan tumbuhnya EVO, ekosistem fighting game di semua dunia pun ikut berkembang. Capcom, misalnya, menegakkan sendiri turnamen dunia bertema Capcom Cup pada tahun 2013, dilanjutkan dengan sirkuit global mempunyai nama Capcom Pro Tour mulai tahun 2014. Arc System Works pun mengusung game produksi mereka, yakni seri Guilty Gear dan BlazBlue, dalam persaingan global ArcRevo World Tour. Bandai Namco justeru mempunyai dua sirkuit global, yakni Tekken World Tour dan Dragon Ball FighterZ World Tour Saga.
Menariknya, walau sekarang esports telah berkembang pesat dan tidak sedikit turnamen di semua dunia, dunia persaingan fighting game tetap tidak lepas dari ekosistem akar rumput. Semangat persaingan terbuka laksana era arcade dulu, di mana siapa saja dapat bertarung dan terbit sebagai juara, sampai kini tetap dipertahankan. Karena itulah persaingan fighting game global seringkali juga mempunyai babak kualifikasi regional. Misalnya Abuget Cup di Indonesia yang adalahbagian dari Capcom Pro Tour Asia, atau Dragon Radar Tournament di C3 AFA Jakarta yang adalahbagian dari Dragon Ball FighterZ World Tour Saga.
Kazunoko - SEA Major
SEA Major 2018 ialah bagian dari Dragon Ball FighterZ World Tour Saga | Sumber: Bandai Namco
Seperti rumput yang tetap berdiri meski diinjak, komunitas fighting game ialah komunitas yang pantang menyerah. Mungkin keunggulan komunitas fighting game dibanding komunitas game lainnya, yakni mereka ialah komunitas yang inginkan susah. Ketika tidak terdapat turnamen resmi, mereka mau menyelenggarakan turnamen sendiri. Walau tidak populer, mereka masih setia untuk game yang mereka sukai. Dan mereka dengan senang hati inginkan merogoh kocek guna mewujudkan kerinduan mereka terhadap fighting game dalam wujud yang nyata.
Wajah-wajah dunia fighting game esports
Fighting game di tahun 2018 memang belum dapat dibilang mainstream, namun keberadaannya sudah paling kuat dan terlihat masih bakal terus tumbuh sehat. Indonesia pun, perlahan namun pasti, mulai mengindikasikan sejumlah prestasi di tingkat global. Siapa tahu dalam sejumlah tahun ke depan akan hadir juara EVO dari Indonesia.
Berbicara mengenai fighting game, tak menyeluruh rasanya bila anda tidak berkenalan dengan semua tokoh yang dominan besar di ekosistem ini. Tidak melulu atlet, fighting game juga tidak sedikit didukung oleh figur dari sekian banyak peran lain. Tanpa mereka, barangkali dunia fighting game tidak bakal sebesar dan seseru sekarang. Berikut ini sejumlah di antaranya.
Daigo Umehara
Daigo Umehara
Daigo Umehara | Sumber: Red Bull
Dikenal dengan julukan “The Beast”, Daigo Umehara meraih gelar juara nasional Street Fighter di Jepang pada umur 15 tahun, lantas menjadi juara dunia dua tahun setelahnya. Daigo Umehara barangkali adalahtokoh sangat legendaris di komunitas fighting game. Di samping sebagai pemain profesional, ia pun telah menulis sekian banyak buku, menegakkan clothing line mempunyai nama BEAST, dan terdaftar di Guinness World Records sebagai atlet Street Fighter tersukses sepanjang sejarah.
Justin Wong
Justin Wong
Justin Wong | Sumber: Yahoo! Sports
Dalam EVO Moment #37, Justin Wong memang memainkan Street Fighter. Tetapi sebenarnya “wilayah kekuasaan” Justin Wong ialah Marvel vs. Capcom. Di era Marvel vs. Capcom 2, Justin Wong sukses menjadi juara EVO sejumlah tujuh kali. Sempat terpuruk di era Marvel vs. Capcom 3, ia kesudahannya mengklaim pulang takhtanya di EVO 2014, dan sampai kini tetap dihormati sebagai di antara pemain fighting game terbaik dunia.
Knee
Knee
Knee | Sumber: ESPN
Atlet asal Korea Selatan ini sudah memainkan Tekken semenjak seri kesatu di tahun 1994 dulu. Kini, Knee dikenal sebagai pemain Tekken terbaik di dunia, tetapi karier profesionalnya sendiri baru dibuka sejak era Tekken 5. Uniknya, nama “Knee” ia pilih sebab dua karakter andalannya yakni Bryan dan Bruce punya tidak sedikit serangan yang memakai lutut. Nama pribumi Knee sendiri ialah Bae Jae Min.
SonicFox
SonicFox
SonicFox | Sumber: XGames
Pemuda berbakat yang tidak jarang kali tampil mengenakan topi serta buntut rubah berwarna biru. Dominique McLean alias SonicFox ialah raja fighting game buatan NetherRealm Studios, yakni seri Mortal Kombat dan Injustice. Tapi SonicFox pun memainkan game lain laksana Street Fighter V atau Skullgirls, dan selalu menyerahkan permainan level tinggi di game apa juga yang dipilihnya. Beberapa masa-masa lalu, SonicFox meraih gelar juara EVO 2018 guna game Dragon Ball FighterZ.
Tom & Tony Cannon
Tom & Tony Cannon
Tom & Tony Cannon | Sumber: US Gamer
Dua bersaudara pencetus pembentukan EVO, mereka ialah pilar komunitas fighting game dari balik layar. Di samping mendirikan persaingan tahunan fighting game terbesar di dunia, mereka pun mendirikan website Shoryuken.com, serta membuat middleware mempunyai nama GGPO yang bermanfaat sebagai penyedia fitur online match dalam fighting game. GGPO kini telah dipakai di sekian banyak fighting game komersial, tergolong Skullgirls, Killer Instinct, dan Street Fighter III: 3rd Strike Online Edition.
James Chen
James Chen
James Chen | Sumber: Red Bull
Bukan atlet profesional, James Chen ialah seorang komentator dan shoutcaster yang berperan besar dalam memperbanyak komunitas fighting game di Amerika Serikat, tergolong ikut berperan memperbanyak EVO. Bila Anda menyaksikan EVO, besar bisa jadi Anda bakal mendengar suara James Chen di dalam narasinya. Di luar kegiatannya sebagai shoutcaster, James Chen juga tidak sedikit membuat tutorial di website Shoryuken.com ataupun di channel YouTube miliknya sendiri.
Maximilian Dood
Maximilian Dood
Maximilian Dood | Sumber: Heightline
YouTuber yang pun bermain secara kompetitif, Maximilian Dood familiar sebagai kreator konten seputar fighting game yang paling lengkap. Mulai dari tutorial, info game terbaru, sampai sejarah genre ini. Maximilian sudah bekerja sama dengan Square Enix untuk menciptakan tutorial Dissidia Final Fantasy NT, dengan Bandai Namco untuk menciptakan tutorial Dragon Ball FighterZ, dan lain-lain.
–
Komunitas fighting game ialah kendaraan lapis baja berbahan bakar passion. Di tengah pelbagai kontroversi, praktik bisnis yang sarat DLC, bahkan tanpa adanya sokongan dari penerbit resmi, komunitas ini tetap menampik untuk mati. Itulah yang menciptakan dunia fighting game punya keindahan tersendiri. kita pun, andai sudah “tercebur” ke dalamnya, tentu tidak dapat dan tidak inginkan pergi keluar. Tertarik guna masuk ke komunitas ini?
Komentar
Posting Komentar